Selasa, 23 Agustus 2011

Belajar dari mereka yang terhebat...


‘Umar ibn al Khattab mungkin adalah koleris dan sanguinis dominan, meledak-ledak, vocal, pemarah, berani, cerdas memimpin, ambisius, kuat, ekspresif dan bergerak dengan cepat. “Bukankah kita berada di atas kebenaran? Bukankah mereka berada di atas kebathilan? Bukankah kalau kita mati kita masuk surga sedang mereka masuk neraka?”

‘Umar juga yang mengatakan, “saksikanlah oleh kalian, bahwa ibnul Khattab akan berhijrah. siapa yang ingin isterinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim, dan ibunya meratapi kematiannya, maka silakan hadang aku di balik lembah itu!” tatkala ia akan berhijrah ke Madinah. Maka gemeretaklah gigi-gigi orang musyrikin yang jengkel luar biasa, namun tak berani melakukan apa-apa karena gertakan ‘Umar.

‘Umar pula yang berkata “ Ya Rasulallah, mereka telah mendustakan dan mengusirmu, maka seretlah ke depan dan pancung lehernya!” keras. Sangat keras.

Tapi saat itu juga ‘Umar juga menjadi Phlegmatis dan Melankolis yang ingin ikut menangis melihat Rasulullah dan Abu Bakar menangis. Saat Allah membenarkan pendapat ‘Umar mengenai penyikapan terhadap tawanan Badar lewat turunnya surah Al Anfaal ayat 68.

‘Umar juga yang melankolis dan phlegmatis saat jatuh sakit selama beberapa hari karena mendengar surat Thaha dibacakan. Dia juga yang sensitif karena tak tega rakyatnya kelaparan, lalu memanggul sendiri sekarung gandum dan mengantarkan ke depan pintu rumah seorang warganya. Dia melankolis, lalu dia membuat administrasi tercanggih saat itu. Dan sejahteralah negerinya.

Dan Abu Bakar? Siapa yang tak kenal kelembutan hatinya? Bahkan ‘Aisyah sampai melarang orang-orang menunjuk Abu Bakar menjadi Imam sholat wajib selama Rasulullah masih ada. Karena ia tak akan pernah bisa menahan tangis saat membacakan ayat-ayat Allah dalam sholatnya. Sehingga khawatir membuat ma’mum tidak khusyuk.

Ingat betapa tenang dan sabar Abu Bakar saat ia disengat kalajengking, hanya air mata menahan sakit menetes jatuh ke pipi Rasulullah yang sedang terlelap di pangkuannya. Karena kelembutan hatinya juga, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mereka adalah kaum dan keluargamu. Biarkanlah mereka hidup dan berilah mereka kesempatan untuk bertaubat. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka” ya, dia melankolis dan phlegmatis sejati.

Tapi, ia juga yang menjadi koleris dan sanguinis. Saat Abu Bakar akan memerangi orang-orang yang tak mau membayar zakat. Ia yang selama ini lembut, berbalik menjadi sangat keras. Padahal, saat itu Umar justru bersikap sangat lunak. Dengan kerasnya ia berkata, “Demi Allah, aku akan memerangi kaum yang telah memisahkan kewajiban sholat dan kewajiban zakat! Aku akan memerangi mereka, jika mereka menolak memberikan kepadaku tali kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rasulullah.”
Tegas, dan sangat keras!

Kemudian, coba simak ayat ini;
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.”
(QS Al-Hujurat: 2)

Tsabit Ibn Qais. Dia orator handal. Senang bicara dengan suara keras. Dia sanguinis sejati. Tapi, ketika surah Al Hujurat ayat 2 itu turun, ia mengurung dirinya berhari-hari di dalam rumah. Ia takut. Ia takut kalau-kalau ayat itu bicara tentang dirinya yang senang bicara keras. Ia takut karena mungkin selama ini suaranya meninggi melebihi suara Nabi.

Rasulullah pun menghiburnya, “Tidak, katakan padanya. Ia tidak termasuk dalam ayat itu. Bahkan ia dicintai Allah dan RasulNya..”

Satu lagi ya!

Saya teringat suatu saat, ketika itu saya sedang berada di sebuah kajian tafsir Qur’an. Pagi itu Ustadz Yassa Syamsudin Lc, membahas tentang tafsir sebuah ayat Al Qur’an. Dan pagi itu semua yang hadir di masjid itu, harus menegakkan kepalanya saat tadinya tertunduk, dan menundukkan kepalanya saat tadinya tegak. Sungguh, waktu itu saya merasa bukan di alam dunia yang nyata. Ada getaran aneh yang menyusup ke hati.

Ketika tiba-tiba suara ustadz berubah serak, kemudian menangis terisak-isak. Saat itu beliau sedang menyebutkan sebuah nama salah seorang sahabat Rasulullah. Namanya Ka’ab ibn Malik. Dan beberapa orang yang hadir saat itu tak kuasa membendung air mata yang jatuh.

Saat itu beliau berkisah tentang sahabat Ka’ab ibn Malik yang absen berjihad ke Tabuk. Ketika pasukan Rasulullah baru saja pulang dari Tabuk, beliau langsung ke masjid. Dan tak lama, ada banyak orang yang bergiliran datang kepada beliau. Mereka sedang ‘melobi’ Rasulullah untuk memaafkan keabsenan mereka pada perang kali itu. Dengan segala alasan mereka meyakinkan Rasulullah, dan Rasulullah pun menjawab sambil tersenyum “Ya..”

Ka’ab ibn Malik adalah salah seorang yang datang belakangan. Tapi, ketika Ka’ab menghadap Rasul, beliau langsung membuang muka. “Sesungguhnya..” kata ustadz Yassa tadi, “kalau saja ia mau beralasan, gampang sekali bagi Ka’ab..” Ya, Ka’ab adalah salah seorang sahabat yang punya karakter Sanguinis sejati. Ia punya kemampuan luar biasa untuk berdebat dan mengungkapkan argument. “Saat itu..” masih kata Ustadz, “seandainya ia mau beralasan, pasti Rasulullah percaya dengan alasannya..” 

Tapi apa yang Ka’ab lakukan ? ia hanya mengaku jujur, bahwa ia tak punya alasan yang syar’i untuk tak ikut berperang ke Tabuk. Dan hukuman itu pun ia terima. 40 hari pengucilan, tanpa tegur sapa dari semua orang. Sebagian pendapat mengatakan 50 hari. Dadanya sesak. Antum bisa bayangkan kalau tak ada orang yang mau bicara dengan kita. Tak ada yang mau bertransaksi jual-beli dengan kita. Ah, entah apa rasanya. Dan waktu itu begitu banyak iming-iming untuk berpaling dari Islam. Salah satunya adalah tawaran suaka dari Raja Ghassan. Ia Cuma berkata “Inilah mushibah yang sebenarnya!” sambil melempar surat tawaran itu kedalam api yang menyala.

Ketika hukuman itu berakhir, Rasulullah bersabda, “bergembiralah dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan ibumu!” dan senyum Rasulullah saat itu bagai purnama yang hanya bercahaya untuk Ka’ab. Wajah yang selama 40 hari berpaling darinya.
Ia sanguinis sejati. Ia bisa mengeluarkan jutaan argument untuk menyelamatkan dirinya dari hukuman itu. Tapi, pembinaan keIslaman yang ia terima selama ini melarang hal itu. Ia lebih memilih diam. Ia lebih memilih menjadi phlegmatis yang punya kesabaran luar biasa.

Mereka punya dominasi satu atau dua karakter. Tapi, pembinaan keislaman yang mereka jalani mampu membuat mereka mengendalikan karakter apa yang perlu muncul dan apa yang tidak perlu muncul. Begitulah Islam mengajarkan, agar tak terjajah oleh sebuah karakter. Agar kita tak terkurung oleh logika pembenaran; “ah, saya kan phlegmatis, mana mungkin bisa khutbah jum’at”, “ah, saya kan sanguinis, mana mungkin saya bisa mengelola administrasi lembaga…”. Lalu tak berkeinginan untuk belajar dan menentang karakter dominan kita.

Lalu bagaimana dengan Rasulullah? Ah, antum pasti cukup cerdas menyimpulkan bagaimana Rasulullah mengelola karakternya. Kalau orang-orang yang dibina saja seperti itu, pasti mentornya lebih dahsyat lagi. Sepakat? 

--------------------------
-Dikutip dari buku SUPER MENTOR, Hal.48-
Baca preview selanjutnya disini : http://goo.gl/uVALK
Salam Jernih
ARIEF RAHMAN
Penulis buku Super Mentor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar