Selasa, 23 Agustus 2011

Dunia Anak, Dunia Para Pembelajar

Belajar memang harus dari siapa saja. Tidak selalu yang muda ke yang lebih tua, tidak melulu yang junior ke para seniornya. Para atasan juga kadang harus belajar dari bawahannya, sebab orang-orang yang berada di bawah pimpinannya juga merupakan manusia yang diberi anugerah akal oleh Allah. Anak-anak pun demikian, tak melulu orang tua yang berperan sebagai guru, sebab dalam banyak hal orang tua pun harus mau mengambil pelajaran dari anak-anaknya. Intinya, jika setiap tempat adalah sekolah maka setiap orang adalah guru. Dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun kita dituntut untuk mau mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang kita jalani.

Sering kali kita menertawakan orang-orang yang di mata kita –maaf- bodoh, hanya karena mereka melakukan hal-hal yang bagi kita memang terkesan demikian. Padahal boleh jadi mereka bukannya bodoh, hanya karena belum pernah melakukan hal tersebut dan mereka melakukan kesalahan tidak berarti itu bodoh. Kita sering dibuat terpingkal-pingkal melihat kesalahan demi kesalahan yang dilakukan orang lain, seolah kita sama sekali tak pernah membuat kesalahan yang sama baik di waktu yang lalu atau mungkin yang akan datang.

Orang-orang yang melakukan kesalahan tak sepantasnya dicemooh, boleh jadi ia berpeluang menjadi lebih baik dan lebih cerdas dari orang yang hanya bisa mencemooh, seolah tak pernah melakukan kesalahan hanya karena ia tak pernah berani melakukan sesuatu. Tidak sedikit orang yang tak melakukan apa-apa lantaran takut disalahkan, tidak mau dianggap bodoh apalagi dicemooh. Dalam hal ini, anak-anak lah yang lebih pantas menjadi guru kita.

Anak yang baru belajar bicara, dia berbicara sesukanya sesuai kemampuannya. Ia tidak takut salah dan tidak juga marah ketika orang-orang yang sudah pandai bicara menertawakan bahasanya yang kacau dan tak beraturan. Anak-anak akan terus bicara sambil sedikit demi sedikit menambah kosa katanya, juga memperbaiki kosa kata yang sudah dikuasainya. Anak-anak berbicara sesuai yang ia tahu, tentu saja anak-anak tidak pernah mengatakan hal-hal yang tidak pernah diketahui atau dilakukannya. Satu lagi, anak-anak selalu berkata jujur apa adanya, secara tidak sadar orang tuanyalah yang sering mengajarinya berbohong.

Di dunia orang dewasa, orang-orang takut berbicara karena terbiasa dalam iklim yang tak bisa menerima kesalahan. Salah bicara dicemooh, salah bertindak dikucilkan, sehingga membuat orang takut berbuat lantaran takut salah. Orang dewasa sering tak sadar terlalu banyak bicara bahkan sampai hal yang sebenarnya tidak benar-benar ia ketahui, hal yang belum sama sekali ia perbuat, demi menciptakan pesona diri. Jika sudah terlanjur banyak bicara, dusta kadang mengikuti secara sadar maupun tidak. Perkataan jujur seakan menjadi barang langka di dunia orang dewasa.

Anak-anak tak pernah takut melakukan apapun, kitalah para orang tua yang sering membuatnya takut. Ketika anak-anak baru belajar melangkah, yang ketakutan adalah orang tuanya, takut anaknya jatuh dan terluka. Baru sedikit melangkah ke luar pagar, teriakan keras sudah mengagetkannya, “awas…” meskipun saat itu tidak perlu ada yang harus ‘diawasi’. Anak-anak sebelumnya jarang takut bertemu setiap orang, kadang orang tua juga lah yang membuatnya jadi takut bertemu polisi, dokter, atau siapa saja yang bisa dijadikan sarana menakut-nakuti anak.

Dalam dunia anak-anak, mereka senang bertemu siapa saja teman-teman sebayanya. Dalam bergaul, tidak membedakan  cantik, tampan atau sebaliknya, anak orang kaya atau miskin, tak melihat bajunya bagus atau dekil. Berbeda dengan orang tua yang terlalu banyak pertimbangan untuk bertemu seseorang. Menguntungkan atau merugikan, memberi manfaat atau membebani, bakal menyusahkan atau tidak, sekufu atau beda derajat, tergantung status sosial, dan beragam pertimbangan lainnya.

Seringlah kita perhatikan yang masih berusia balita bermain dengan teman-temannya, kesalahan dalam dunia mereka adalah pembelajaran. Kalaupun ada yang melakukan kesalahan, mereka saling tertawa tanpa bermaksud mengejek. Anak yang sudah lebih dulu mengerti akan memberi contoh kepada yang belum paham. Jika mereka bertengkar, cukup dengan saling kait kelingking sebagai simbol memaafkan, dalam waktu yang tak lama sudah akrab bermain kembali. Kalau ada yang menangis, sebentar mengadu ke orang tua, kembali lagi bermain. Permasalahan begitu mudah dan cepat diselesaikan, tidak ada dendam dan permusuhan yang berlangsung lama.

Jauh berbeda dengan dunia kita, para orang dewasa yang katanya lebih cerdas ini. Kita senang memperolok kekeliruan orang lain, bahkan sengaja menjadikannya bahan tertawaan tanpa memerhatikan perasaan yang bersangkutan. Orang yang lebih cerdas merasa sombong dan enggan membagi ilmunya kepada yang membutuhkan, mereka yang tak cerdas bahkan menjadi objek percontohan setiap kali si cerdas bicara tentang tips kesuksesan. Terlalu banyak perselisihan, persoalan kecil bisa jadi besar, dendam tak pernah reda dan permusuhan senang dilestarikan di dunia orang dewasa.

Mari masuki dunia anak, dunia para pembelajar. Tempat mereka yang begitu mudah menerima perbedaan, dunia dimana kesalahan, kekeliruan adalah cara terbaik untuk menambah ilmu. Dunia yang tak berlaku saling menyalahkan, dunia yang tak ada yang merasa bodoh apalagi merasa paling hebat, dunia yang sebenarnya bisa jadi sarana pembelajaran bagi kita para orang dewasa. Menunduklah sedikit, duduk sama rendah dengan anak-anak, dan kita pun akan tahu betapa mengagumkan dunia mereka.

--------------------------------------------------------
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150114852312956

1 komentar: